PKL & Makan Sehat : Kisah Klasik Kota Bandung

Bandung. Kota ini punya segalanya. Udara sejuk, keramahan warga hingga ragam makanan yang dijajakan. Soal kuliner, kota Bandung sering jadi pionir menciptakan makanan unik nan kreatif. Masih ingat tren berjualan keripik pedas di bagasi mobil? Atau masih terbayang dengan kue cubit green tea? Faktanya, jumlah PKL di Bandung mencapai lebih dari 22.000. Jumlah fantastis yang melebihi jumlah pedagang formal yang terdaftar. Di kota ini, deretan pedagang cilok, mie kocok atau cuankie keliling bisa dipanggil kapan saja. Trotoar di tengah kota juga jadi tempat jajan langganan. Mudah di sini untuk sembarang jajan tanpa khawatir harga atau rasa. Tapi, bagaimana dengan kebersihan makanan?
Tidak satu dua kali koran kota Bandung memuat headline tentang keracunan makanan atau razia jajanan berformalin. Sepertinya, realita ini mengingkari hasil survei yang sempat digelar Nielsen’s New Global Health & Ingredient Sentiment tentang gaya hidup sehat. Hasilnya, sekitar 64% responden mengatakan mereka bersedia membayar lebih untuk makanan atau minuman yang sehat dan aman. Gaya hidup sehat  dan PKL tentu keduanya bertentangan, tapi di sisi lain tidak bisa dipisahkan. Para PKL sering dipandang tidak mampu menyediakan makanan yang terjamin kebersihannya. Tetapi, para PKL juga menjadi bagian dari solusi. Mereka beperan besar menjadi akses masyarakat terhadap makanan, keamanan pangan serta memberikan pekerjaan untuk lebih dari 10 juta keluarga miskin di Indonesia. Maka dari itu, penting untuk mengembangkan program relokasi dan pemberdayaan bagi PKL.
Riset Indie, sebuah organisasi riset di Bandung yang berdiri tahun 2011 mengadakan multi stakeholders meeting dan mencoba menemukan solusi akan fenomena ini. Melalui program Food Change Lab, mereka mencoba berinovasi dalam sistem pangan lokal. Bertempat di Bumi Sangkuriang (12/10), terkumpul belasan stakeholders dari kalangan PKL, komunitas, dinas pemerintahan, dinas kesehatan hingga mahasiswa untuk mengeluarkan pendapatnya mengenai isu terkait. Fokusnya adalah berdialog mengenai makanan sehat untuk masyarakat berpendapatan rendah. Melalui metode world cafĂ©, masing – masing stakeholder menyampaikan aspirasinya di ruang ini.



Ahmad Wahyudi dari Dispangtan Kota Bandung dan Pak Mudjahidin dari Perwakilan PKL sedang melakukan proses world cafe. (Foto: Riset Indie)

Berdialog memang sederhana, tetapi hasilnya ternyata cukup kaya. Melalui multi stakeholders meeting, ditemukan bahwa terdapat rantai yang terputus antara pemerintah, PKL dan juga masyarakat. Nyatanya, Dinas Kesehatan memiliki program stiker tanda kuliner sehat yang sudah lolos uji. PKL sebenarnya wajib memasang stiker tanda kuliner sehat untuk menjamin jajanan yang mereka jual tidak mengandung bahan berbahaya. Realita yang dihadapi pedagang PKL pun tidak kalah rumit. Setiap hari mereka harus berhadapan dengan para preman yang menagih “uang keamanan”. Terkadang, tidak sedikit pedagang kaki lima yang harus rela berpuasa demi memberi oknum keamanan uang jajan. Jangankan memikirkan membuat makanan dengan bahan berkualitas, beli bahan makanan seadanya dan menjual dengan harga terjangkau sepertinya lebih jadi prioritas. Ruang diskusi ini memang masih permulaan. Melihat realita, data dan juga masukan yang ada, sepertinya masih butuh beberapa waktu agar solusi yang efektif tercipta. 




Fasilitator world cafe mencatat poin-poin penting dalam dialog yang berlangsung. (Foto: Riset Indie)

Masalah antara PKL dan makanan sehat memang jadi lagu lama di kota Bandung. Toh, yang seharusnya terpanggil bukan hanya pemerintah atau pedagang kaki lima saja. Masyarakat juga semestinya berperan aktif dalam mencari solusinya. Semoga dengan berjalannya Food Change Lab bisa memberikan dampak yang berarti. Karena hal besar, dimulai dari yang kecil, bukan?

Peserta multi stakeholders meeting berfoto bersama di akhir acara. (Foto: Riset Indie)



Referensi:







Comments

Popular posts from this blog

Mengenal Design Thinking di Kehidupan Sehari-hari

Cerita Tentang Ibu Dapur

Ragam Profesi Kuliner Indonesia: Dari Koki yang Tidak Ingin Dipanggil Koki Hingga Jurnalis Kuliner