Kita Semua Adalah Pencerita


Kelas kolaborasi antara Riset Indie dan CCE MBA ITB yang biasanya diisi dengan materi Design Thinking pada hari Senin (13/11) kemarin menggali sesuatu yang berbeda. Dibuka dengan beberapa video singkat berdurasi sekitar 2 menit dari IDEO-U, sesi kali ini kita diajak untuk mendalami soal storytelling. Lupakan penulisan deskriptif teliti ala novel Edgar Allan Poe atau Agatha Christie. Ini juga bukan tentang puisi ala Sapardi Djoko Damono atau M. Aan Mansyur. Kelas ini memberitahu sesuatu bahwa kita semua adalah seorang  pencerita.

Setiap tentu menceritakan sesuatu setiap hari dalam pengertian paling sederhana. Menggunakan kata dan merangkai kalimat untuk menyampaikan sesuatu atau menyatakan pendapat. Meskipun sederhana, bukan berarti selalu mudah untuk dilakukan. Berapa banyak kata-kata inspirasional yang bisa mengubah dunia? Kapan terakhir kali kita mendengar kalimat yang bermakna dalam? Cerita siapa yang bisa mengubah sudut pandang kita? Jawaban dari pertanyaan tadi bisa banyak, seringkali atau siapa saja. Tapi pertanyaan utama nya adalah, bagaimana kita bisa membuat cerita yang menggugah?

Ada beberapa langkah untuk membuat cerita yang bisa menginspirasi atau mengubah banyak orang. Pertama, kenali pendengar dari cerita itu sendiri. Buatlah hal-hal spesifik tentang audiens, hingga detail terkecilnya. Cari tahu apa yang mereka pikirkan, mereka rasakan, bagaimana lingkungan mereka, dan bagaimana cerita latar belakang mereka. Tentu akan berbeda apabila kita akan menceritakan topik tentang bullying kepada anak TK dan orang tua. Bahasan bisa sama, tapi pendengarnya berbeda.

Selanjutnya, ketahui apa yang dipedulikan oleh pendengar. Apa kebutuhan mereka? Apa yang membuat mereka akan mendengarkan cerita kita? Lagi, menceritakan soal bullying kepada anak TK dengan sudut pandang orang tua kemungkinan besar tidak akan didengar. Pada dua langkah awal inilah unsur empati akan bermain.

Terakhir, ketahui tujuan yang akan dicapai. Apakah kita bercerita hanya untuk didengar? Atau bercerita untuk menjual? Ibarat sebuah bangunan, tentu semuanya berawal dari rancangan. Tidak ada orang yang membangun rumah dimulai dari membangun tembok terlebih dahulu. Semuanya memiliki blueprint, begitu juga dengan membuat cerita. Proses storytelling bagaikan proses translasi dari satu bahasa ke bahasa lain. Artinya bisa sama, hanya saja cara pelafalannya berbeda. Bedanya, proses bercerita adalah translasi dari satu isi pikiran ke pikiran yang lain. Sebelum membangun sebuah cerita, ketahuilah kerangka pikiran yang akan dibuat. Jangan lupa bahwa cerita ini disampaikan kepada orang lain yang memiliki pemikiran dan perasaannya tersendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenal Design Thinking di Kehidupan Sehari-hari

Cerita Tentang Ibu Dapur

Ragam Profesi Kuliner Indonesia: Dari Koki yang Tidak Ingin Dipanggil Koki Hingga Jurnalis Kuliner