Bandung Food Change Lab : Bukan Hanya Makan-Makan

Gelaran Bandung Food Change Lab Exhibition & Talkshow masih diadakan di Lokasi, Jalan Ir. H. Juanda No. 92 hingga 3 Desember 2017 ini. Pameran dan ruang berdiskusi ini memang menyelipkan kata “makanan” di judulnya. Tetapi, apa benar hanya sekedar makan-makan? Jawabannya adalah iya dan tidak.
Ya, tentu saja isu seputar makanan dibahas disini. Tetapi, tidak hanya makan saja. Isu berhubungan dengan inovasi, sosial dan kultur juga turut menjadi bahasan di dalamnya. Terbagi dalam 2 sesi, yaitu pameran dan talkshow, gelaran ini juga mengundang banyak pakar untuk bertukar pikiran. Sebut saja Gigih Rezky Septianto dari WeCare.ID dan Felia Boerwinkel dari HIVOS dalam sesi talkshow terkait social entrepreneur.  Felia menceritakan pengalamannya menjalankan social lab di Uganda dan Gigih bercerita mengenai passion-nya mengenai dunia kesehatan Indonesia. Menempati peringkat ke-16 untuk produktivitas perubahan sosial, tentu hal ini menjadi harapan bagi kita bahwa negara ini bisa berkembang lebih baik kedepannya.
Pada sesi talkshow berikutnya, ada Fadly Rahman penulis Jejak Rasa Nusantara dan Prananda Luffiansyah yang membahas isu makanan sehat dari sisi yang berbeda. Fadly Rahman membuka talkshow dengan bertanya kepada pengunjung berapa banyak jenis soto yang ada di Indonesia? Jawabannya, terdapat sekitar 75 jenis soto di Indonesia. Sejak zaman dahulu kala, soto ini dijajakan di pinggir jalan atau yang sekarang disebut sebagai lapak PKL. Dari masa kolonial, orang pribumi gemar berkumpul di warung-warung PKL dan bersosialisasi. PKL sejak dulu menjadi tempat rendezvous khas Indonesia. Bahwasanya pedagang kaki lima adalah aset penting untuk menjaga identitas budaya Indonesia dan melestarikan kuliner Indonesia.
Prananda Luffiansyah juga membuka presentasi dengan bercerita mengenai tukang soto langganannya. Memang, ada apa sih dibalik semangkuk soto sehingga semua orang berbicara mengenai itu? Ternyata, satu mangkuk soto memiliki banyak jaringan. Terdapat rantai panjang yang secara informal terbentuk serta lingkaran sosial yang dimiliki oleh pedagang soto tersebut. Di sini, Prananda menegaskan bahwa tugas pedagang kaki lima bukan hanya memasak, tetapi juga memperkuat jaringan dan bisa menciptakan ruang sosial. “Seharusnya pemerintah meregulasi dari hulu ke hilir. Bukan hanya PKL saja (hilir) karena jaringannya luas,” begitu ujarnya.
Pameran di Bandung Food Change Lab Exhibition & Talkshow juga masih berlangsung hingga 3 Desember 2017 ini. Merupakan kolaborasi dari Riset Indie dan CCE MBA ITB, prototype yang dipamerkan disini berupa solusi yang dihasilkan dari kelas design thinking selama beberapa bulan lalu. Kurang lebih ada 6 kelompok yang memaparkan penemuannya terkait isu PKL dan makanan sehat melalui metode design thinking ini. Para pengunjung yang datang bisa memberikan masukan atau insight melalui post-it dan menempelkannya pada meja instalasi.
Bandung Food Change Lab Exhibition & Talkshow bukan menjadi akhir, tapi ini adalah permulaan. Semoga kedepannya semakin banyak ruang untuk berbincang mengenai isu ini dan merealisasikan konsep menjadi solusi yang nyata. Pameran masih dibuka hingga akhir minggu ini. Silakan kunjungi Lokasi di jalan Dago no. 92 dan selamat berpartisipasi untuk kota Bandung yang lebih baik!

Comments

Popular posts from this blog

Mengenal Design Thinking di Kehidupan Sehari-hari

Cerita Tentang Ibu Dapur

Ragam Profesi Kuliner Indonesia: Dari Koki yang Tidak Ingin Dipanggil Koki Hingga Jurnalis Kuliner