Kain Dari Bakteri?

Memang bukan rahasia lagi kalau Bandung yang dikenal sebagai Paris van Java menjadi salah satu pusat tren fashion di Indonesia. Menyabet gelar creative city dari UNESCO, kira-kira kreatifitas seperti apa yang diciptakan warga Bandung dalam dunia mode?
Pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia selain makanan dan tempat tinggal. Dalam perkembangannya, manusia kemudian menemukan katun (kapas) sebagai bahan utama pakaian. Kain sintetis berbahan poliester kemudian dikembang­kan pada pertengahan abad ke-20. Kain berbahan serat alami seperti pinus, rami, atau bambu juga dikembangkan sebagai alternatif.

Penggunaan bahan tekstil berbasis selulosa tumbuhan ini kemudian menimbulkan banyak pertanyaan menyangkut isu lingkungan. Apakah benar bahan-bahan itu ramah lingkungan? Apakah penanaman pohon kapas tak menggunakan pestisida yang banyak? Apakah pakaian yang kita pakai sekarang tak membuat sebuah bukit menjadi gundul?

Sapta P. Soemowidjoko, seorang seniman sekaligus pelaku industri kreatif di Bandung akhirnya mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sapta yang berbasis ilmu sains kemudian mencoba mengembangkan hal baru dalam industri fashion dan sangat ramah lingkungan. Ia menjadikan bakteri sebagai bahan tekstil.

Bakteri yang digunakan sama dengan bakteri pada proses pembuatan kombucha, minuman teh asal Asia Timur. Kain selulosa bakteri ini dapat dibuat sekitar dua minggu dengan perlakuan khusus yang sebenarnya dapat dilakukan pada skala rumahan oleh siapa saja. Sebagai prototipe, dari kain berbahan bakteri itu, Sapta membuat dasi kupu-kupu dan suspender (aksesori yang bisa menggantikan sabuk sebagai pengencang celana pria).

Kain kumbucha yang dihasilkan itu tak seperti kain selulosa biasa. Agak menyerupai bahan kulit dengan bahan yang lebih tipis. Dengan perlakuan, motif kain juga dapat dibuat sesuai yang diinginkan dengan menyelipkan serat bambu.

Terkait temuannya, Sapta mengaku belum mematenkannya. Ia juga mengaku belum berminat mengembangkannya secara massal di industri karena perlu penelitian dan pengembangan lebih lanjut. Meski demikian, Sapta kini tengah menyasar ceruk pasar untuk kalangan tertentu yang tak tergantung pada perkembangan tren fashion instan yang ia sebut dengan fast fashion. Jadi, sudah siap menciptakan pakaian sendiri dari bakteri?

Comments

Popular posts from this blog

Mengenal Design Thinking di Kehidupan Sehari-hari

Cerita Tentang Ibu Dapur

Ragam Profesi Kuliner Indonesia: Dari Koki yang Tidak Ingin Dipanggil Koki Hingga Jurnalis Kuliner